Penanganan Kasus Korupsi PWI dan Pemberian Ormas Menangani BUMN

Oleh : Frans P. Liwun

Jakarta – Bharindojakartaindonesia.com/- sehubungan dengan tulisan sdra. Heintje Mandagi, membuka pikiran dan wawasan kita akan Pers Indonesia ke depan, tambahan lagi pemerintah mengijinkan ormas untuk menangani BUMN/D berarti kita mulai menanam bibit-bibit korupsi di kalangan masyarakat mulai dari pers bahkan melibatkan ormas keagamaan sungguh memalukan perjalanan sejarah peradaban  bangsa ini. Pemerintah telah menterjemahkan pasal 33 UUD 1945 dengan melibatkan unsur ormas untuk mengelola kekayaan alam Indonesia yang kini dikelola oleh BUMN/D, dan akan menimbulkan disintegrasi bangsa.

Sementara itu  Presiden Republik Indonesia Joko Widodo yang tinggal beberapa  bulan mengakhiri  masa jabatan telah menggaungkan *Indonesia emas tahun 2045* akankah menjadi emas batangan atau serpihan emas ? Perlu dipikirkan secara matang hal ini, maka pemerintah tidak perlu mengintervensi secara terang-terangan terhadap lembaga-lembaga dan ormas, terus saja lembaga eksekutif, yukatif, dan legislatif diobok-obok bahkan media nasional dan media jaringannya. Itu sangat disesalkan bagi negara kesatuan, seperti Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ini berarti neokolonialis. Ingat  munculnya Sumpah pemuda karena diobok-obok oleh penjajah, namun pers tetap menyuarakan kesatuan sehingga Jong Java, Jong Andalas, Jong Celebes dan lain bersatu dalam Sumpah Pemuda.

Untuk itu para kawan Media Nasional terus menyebarluaskan pemberitaan untuk pencampur-adukan Trias Politica oleh pemerintah ke fungsi dan peran yang sebenarnya sehingga negara akan berjalan aman dan damai, mungkin juga prinsip ini yang dipakai dalam perang yakni *si wis pacem para bellum*, jika mau damai perang dulu.  Jika kita melihat secara jeli bahwa kekacauan sistem yang dibuat pasti ada maksud tertentu dan pribadi seperti ini lebih komunis dari komunis. Perlu kita ingat bahwa Indonesia negara hukum dan pribadi itu mulai dengan merevisi Konstitusi  dari kepala negara hingga kepala daerah bahkan sekarang melibatkan semua unsur dalam tata kelola harta negara merupakan suatu tindakan pencucian tangan bila terjadi kekacauan atau disintegrasi, kekacauan suku A dan dulu B atau kampung A melawan kampung B dan siapa yang ada dibalik itu semua, adalah kepala desa.

Semua pengamat dan partai oposisi serta tokoh oposisi yang mengekspolitasi benang kusut dibuat oleh oknum yang menyerang penguasa selalu siap selalu untuk ditarik masuk bui tanpa ada kejelasan salahnya guna menjaga wibawa penguasa demi menaikan pamor dengan menggandengkan  media dan perusahaan pers nasional, yang terus menjaga kepentingan politiknya.

Dalam kesempatan ini kami mengajak para jurnalis untuk terus memberitakan perbedaan ormas keagamaan dalam *sekularisasi* guna menyuarakan keseimbangan berita yang menyangkut duniawi dan hal kerohanian/ keagamaan, begitu juga para jurnalis agar  media nasional pun dengan berani mengekspolitasi berita kasus yang terjadi penyimpangan dalam lembaga-lembaga negara dan swasta yang hak hidup banyak orang.

Sekarang sudah mulai terlihat dalam tata kelola niaga BUMN, seperti tata niaga komoditas timah dan perizinan  usaha pertambangan timah dimana negara mengalami kerugian hingga triliun rupiah. Sayangnya, isu tersebut ditutupi dengan isu lain  sehingga kerugian negara yang triliunan rupiah itu, tak terbaca oleh masyarakat dan jurnalis yang tahu soal itu ditutupi dengan hibah kepada petinggi organisasi wartawannya. Kata orang barang busuk biarpun ditutup-tutupi akan tercium juga. Maka betul juga yang dikatakan  sdra. Wilson Lalengke (ketum PPWI) demi melindungi ‘peternak koruptor’ PWI. Dalam kasus dugaan korupsi dan penggelapan uang rakyat oleh pengurus PWI, sebuah organisasi wartawan yang handal dalam kehadiran media nasional dan anak emas dari Dewan Pers ikut terbawa banjir korupsi BUMN dan mau menghilangkan gejala korupsi lebih luas maka mulai melibatkan ormas bahkan ormas keagamaan sehingga kasus itu lagi bahwa itu masyarakat melalui ormas maka tanyakan pada masyarakat dari situlah para koruptor berlindung. Maka para media nasional terus aktif memberitakannya yang didukung oleh sederet media cetak dan media online lokal dari jaringan media yang tidak tergabung dalam konstituen Dewan Pers.

Saya sependapat dengan tokoh pers untuk bersuara dan mengambil langkah hukum dengan membuat laporan korupsi dan penggelapan dana BUMN miliaran rupiah dan menolak ormas terlibat dalam tata kelola niaga dari BUMN/D, karena ini suatu tindakan yang akan melibatkan korupsi berjamaah dan terus bersuara untuk membawa pribadi yang menghilangkan uang dan harta negara ke meja hijau dan ke bui. Media nasional yang terus menyuarakan/.mememberitakan itu walaupun tidak terverifikasi oleh Dewan Pers namun sudah memiliki AHU dari Kementerian Hukum & Hak Azasi Manusia berarti Anda sudah diakui keberadaannya dalam dunia pers.

Hal yang aneh lagi bahwa tindakan penyelewengan uang negara dan harta negara mulai dilegalkan, apakah saudaraku wakil rakyat tahu akan hal itu atau tidak, atau ikut merumuskan bahasa untuk menggolkan penyelewengan itu dengan cara halus. Dan kembali saya tegaskan bahwa wakil rakyat perlu memilah sekularisasi aturan atau perundangan yang ada dan jangan mencampur adukan itu yang melibatkan semua kita salah karena ikut menentukan dan mengelolah negara melalui BUMN, dan tidak.mungkin semua petinggi negara tidak tahu akan hal itu. Bahkan semua petinggi negara diam tak bersuara karena  hukum kausal dan dirinya diam-diam mencari pembelaannya. Dan kepada teman-teman jurnalis terus melakukan serangan dengan pemberitaan para jurnalis akan tindakan indisiplin yang dilakukan tingkat bawahan sebagai umpan yang diduga terima suap dengan dalih dana cash back dari lembaga manapun maka akan tertangkap juga ikan kakapnya.

Kasus dugaan korupsi yang melibatkan organisasi wartawan PWI, karena wartawan adalah corong untuk menyebarluaskan pemberitaan dan salahnya bahwa yang diberikan uang adalah petinggi dengan dalih kegiatan kewartawanan seperti UKW (uji kompetensi wartawan) maka dalam hal ini saya katakan bahwa sepintar apa pun petinggi itu jangan menganggap sepele kepintaran anak buahmu karena dari mereka lah Anda belajar dan dibentuk, belajar dari yang baik akan berbuah baik melalui teladan bukan hanya kata-kata belaka (verba docent exempla trahunt) jadi bawahan akan terjerat yang melibatkan  atasannya. Sehingga kasus ini dicoba dilakukan oleh para jurnalis  dengan menarik petingginya dalam skandal korupsi di Republik Indonesia ini.

Kasus korupsi yang dilakukan jurnalis sama jahatnya dengan korupsi yang dilakukan oknum penegak hukum, mungkin Tuhan mulai muak kejahatan di negara berlebel negara hukum melalui jurnalis tersandung kasus korupsi untuk membuka kasus korupsi di semua lini yang mungkin melebihi batasan *ekstra ordinary crime* karena petugas yang bekerja mengawasi hukum ikut terlibat dalam kasus yang sama.

Kasus wartawan terlibat dalam korupsi dan media, dapat berakibat pada hilangnya kontrol sosial pers bahkan runtuh dan hancurnya pers itu sendiri yang tak bernilai bagi masyarakat.  Walaupun adanya
Keputusan Dewan organisasi atau lembaga memberi sanksi dan pemecatan terhadap petingginya tapi sulit dipulihkan nama organisasi atau lembaga tersebut karena sudah dicap lembaga atau organisasi korupsi.  Maka semua kita yang bernaung dibawah lembaga atau organisasi itu ikut merasa malu sebagai anggotanya.

Dalam  menanggapi kasus yang ada di negara kita ini karena tidak adanya ketegasan hukum dan ketidakjelasan aturan atau hukum  yang memberi efek jerah bagi yang tersandung kasus tersebut. Kalau korupsi belum memberikan berita yang kalau yang korupsi orang biasa namun yang di media nasional jika penegak hukum menangkap dan menghukum oknum penegak hukum yang terjerat kasus korupsi tapi hal ini bisa dieliminirkan karena sesama. Maka itu jurnalis meneriakkan hal ini karena negara hukum bahwa yang salah ditangkap akan jadi berita menarik bagi media. Dan terus dikejar dan dibasmi karena itu adalah hama masyarakat.

Sebagai penutup, saya hanya mengajak teman jurnalis untuk terus memberitakan ketidakberesan dalam masyarakat. Dan kita perlu teliti terhadap aturan atau perundangan dikeluarkan untuk menutupi kesalahan mereka dan ingin melibatkan banyak orang yang tersandung dalam kesalahan yang sama maka para jurnalis dalam pemberitaan selalu berprinsip pada *correctio of fraternae* menasihati saudara agar tidak terjerumus dalam kesalahan, sehingga bangsa kita semakin beradab.  ***

Penulis adalah:
Mantan Ketua DPP AWI dan sekarang Dewan Persatuan Wartawan Olahraga

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *